Music Guide: "Let's Kiss And Be Friends"-Denda Omnivora & The White Liar

More Info After The Jump


Ini adalah materi album ke-2 dari Denda Omnivora & The White Liar. Masih dalam keliaran electro punk, rock dan metal yang cenderung berhawa gelap dengan rekaman mentah nan kasar. Suara serak Denda masih sama liarnya dengan materi-materi mereka sebelumnya

Track List:
01. Prelude
02. A Painful Case
03. Enigma Of Sucker
04. (Pretty) Nobodies
05. Los Missing Los

Vocal Whiteliar: The Dendaomnivora
Guitar Whiteliar: Tyo Retainers, Annasign
Additional Guitar: Teyenk Deviatedsymphony
Drum Whiteliar: Buddy Retainers, Dianrockpunk


Produced by White Liars and Rahadian Aditya Magadhendra
Mixed by Annasign, Wisnu Peach 6012, Bruno and Kathryn Jane Morgan
First released by REC Records


Download: HERE


The London Police


The London Police adalah duo dari Inggris yang pindah ke Amster dam pada tahun 1998 untuk menunjukkan kekecewaan dan memerangi narkoba dengan cara seni visual.
kakarkter mereka yang memorial dan sangat disukai 'Lads' sudah terlihat di berbagai tembok di berbagai kota di seluruh dunia. karakter ini menjadi trademark The London Police.
anggota The London Police datang dan pergi, tapi setelah sepuluh tahun, duo yang merupakan dalang di balik The London Police bertemu kembali, bekolaborasi, dan berkarya kembali.
atas peringatan bertemunya duo The London Police, mereka mengadakan pameran bertajuk "10 Years On The Circle Line".

pameran ini menggabungkan skill berbeda duo The London Police dimana salah satu dari mereka memang sangat berbakayt membuat lingkaran tanpa bantuan apapun yang pastinya digunakkan untuk membuat The Lads dan yang satu lagi mempunyai skill untuk membuat arsitektural yang sangat detail. dua skill berbeda yang digabungkan membuat The London Police mempersembahkan karya yang berbeda dari sebelum sebelumnya.

D*Face


D*Face atau nama aslinya adalah Dean Stockton lahir dan besar di London. tidak heran hal itu membuat ia tertarik dengan graffiti dan street art. ia sangat tertarik dengan subway art dan spraycan art dan juga pernah masuk di Trasher magazine karena karyanya untuk sebuah skateboard deck. hal hal seperti itu membat dia tertarik dengan seni sticker dan bergaul dengan skateboarder dan punk community.
ia juga berkerja sebagai freelance ilustrator disamping ia mengerjakan proyek street artnya. hal hal seperti Jim Philips, hip hop, punk music, dan kartun yang sedang populer adalah inspirasi yang menjadi bahan bahan karyanya sehari hari.
ia menggunakan teknik dan medium berbeda beda dalam tiap karyanya. tujuannya adalah bukan hanya menciptakan karya yang enak dilihat tapi juga untuk membuka mata untuk melihat apa yang mengelilingi kita di kehidupan kita.
contoh 'ulah'nya adalah membuat uang bergambar Queen Elizabeth II yang sudah dimodifikasi dan membiarkannya mengalir dalam sirkulasi uang dan menunggu masyarakat menyadarai apa yang dilakukan D*Face untuk uang mereka.
pameran yang mengangkat namanya adalah pameran Death & Glory yang diadakan di StolenSpace Gallery pada tahun 2006, kemudian pameran Eyecons, at O Contemporary di Brighton pada tahun 2007 juga menuai sukses.
ia merupakan seorang kurator gallery Outside Institute, sebuah gallery yang memfokuskan pada street art. kemudian Outside Gallery pindah dan mengganti namanya menjadi Stolen Space Gallery.

David Bray


karya David Bray yang sangat menajubkan dengan detailnya merupakan ganjaran yang ia dapatkan dengan menggambar semasa hidupnya dan imajinasi yang aktif.

lahir di Dartford,Kent, pada tahun 1970. sebagai anak yang sedang tumbuh, ia suka menggambar luar angkasa dan membayangkan ia dan teman temannya mengunjungi planet satu persatu. ketertarikannya pada seni membuat ia pindah ke london. gerakan 'punk' yang sedang hype saat itu tidak menarik baginya.

ia mulai belajar dan mengerti untuk mendapatkan stylenya dengan mengekplorasi dunia fantasi egoistis yang suram, dimana hal itu sering tergambarkan di karya karyanya.

satu lagi keunikan dari David Bray adalah kesederhanaannya saat membuat suatu karya, yaitu hanya menggunakan pen, pensil, dan kertas yang dibelinya dari sebuah toko alat tulis dekat rumahnya.

Music Guide: Tetap Intens Setelah 20 Tahun Lebih: Album Reign In Blood karya Slayer

Read More after the jump



Adalah tahun 2009, ketika saya kembali memutar album Reign In Blood dari band metal Slayer, feeling saya tetap sama seperti ketika saya pertama mendengarkan album ini di tahun 1987: seperti ditampar berkali-kali, seperti menjelaskan bagaimana seharusnya musik heavy metal yang intens dimainkan. Ya, ‘intens’ adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan Reign In Blood.

Pertengahan 1980an, saya masih mencoba belajar main skateboard di Bandung bersama teman-teman sekolah menengah pertama, dan juga baru mulai mendengarkan heavy metal. Sampul album musik heavy metal yang umumnya komikal amat menarik saya, seperti melihat sebuah poster film horor. Band-band seperti Iron Maiden, Judas Priest memicu ketertarikan saya kepada musik jenis ini. Dan sepertinya rasa haus ingin mendapatkan musik yang lebih ekstrim dan lebih ekstrim semakin membesar.

Era musik thrash metal ketika itu juga baru mulai, dan saya juga menikmati sub genre ini. Di masa itu, tidak mudah mendapatkan rilisan-rilisan thrash metal. Biasanya saya dan kawan-kawan fans heavy metal mendapatkan rekaman-rekaman kaset saja, kadang berupa demo, kadang berupa kopian dari album original dan impor milik seseorang yang beruntung mendapatkan dari liburan di luar negeri atau menitip kepada seorang saudara yang di luar sana. Metallica, Megadeth, Testament, Forbidden, Sacred Reich, dan banyak lagi.

Awal Mula

Bermula dari seorang teman yang memberikan sebuah rekaman kaset Reign In Blood karya Slayer ini. Sebelumnya, saya sudah mendengarkan album Slayer Show No Mercy dan Live Undead, saya kira musiknya cukup senada dengan band-band thrash metal lainnya. Tapi saat saya memutar kaset Reign In Blood, I was blown away from the first riffs. Berdurasi hanya 28 menit saja, cukup singkat untuk rata-rata durasi album heavy metal.

Saya punya tolok ukur unik: ketika memutar sebuah album heavy metal dalam volume maksimal, semakin cepat ibu saya menyuruh saya memelankan suara yang keluar dari speaker, artinya album heavy metal tersebut semakin baik. Begitu pula dengan Reign In Blood. Hanya beberapa detik setelah lagu pertama diputar, “Angel Of Death”, ibu saya berteriak agar volume dikecilkan. Good. Album rekaman ini saya putar berulang kali hingga kaset rekamannya mendem. Merekam ulang dari teman, dan memutarnya lagi hingga tidak dapat diputar.

Akhirnya saya mendapatkan kaset importnya setelah memesan dari seorang relasi. Artwork álbum ini adalah karya Larry Carroll, tidak komikal seperti album heavy metal lainnya. Album rilisan tahun 1985 ini memiliki artwork yang dark, dan tentu saja berkesan satanic: sosok seperti manusia berkepala kambing, yang sedang diusung sosok-sosok seperti manusia dengan simbolisasi, di lautan merah seperti darah. Sebuah lukisan sureal yang digarap serius dan jauh dari komikal. Seperti membuat pernyataan keras, “We are fucking dead serious.”. Wah. Sebuah artwork yang membuat bulu kuduk berdiri. Kalau memang takut sebenarnya tinggal dimatikan saja, tapi itu tidak saya lakukan. Tangan produser Rick Rubin (yang pernah memproduseri Beastie Boys, Red Hot Chili Peppers, Metallica, dan lain-lain) memang seperti Midas, apa yang disentuh menjadi emas. Dalam hal ini, sentuhan tangan produser Rick Rubin atas Reign In Blood memaksimalkan Slayer.

Musik dan Lirik yang Menerjang

Selain artwork, saya terhenyak pula dengan musiknya. Aransemen lagu yang seperti tidak mengenal istirahat, dan dilengkapi olah lengkingan-lengkingan solo gitar yang chaotic disebar di tiap lagu. Gitaris Kerry King dan Jeff Hanneman berbicara dengan instrumennya, sementara Dave Lombardo sang drummer menghajar tiap bagian instrumen drum seperti tidak ada hari esok. Tom Araya sang bassis dan vokalis, memuntahkan lirik bagai senapan mesin tanpa kehilangan artikulasi. Dan tentu saja lengkingan vokal yang membuka di ”Angel Of Death” adalah klasik dan gahar. Evil. Bahkan lagu terakhir, ”Raining Blood”, memiliki intro dengan drum signature yang menjadikannya klasik, padahal sangat sederhana.

Saya berani bilang, silahkan ambil beberapa album heavy metal 5 tahun ke belakang, bandingkan dengan Reign In Blood, tidak ada yang dapat menyamai intensitasnya.

Perlu juga bicara tentang liriknya yang pada masa itu terasa ekstrim: “Angel Of Death” bercerita tentang korban-korban kamp konsentrasi Auschwitz-Birkenau, Polandia, yang dibantai secara mengerikan oleh Dr. Josef Mengele, perwira dan psikiater Nazi. Lagu ini juga menuai protes karena seperti memuja kematian dan tragedi di kamp konsentrasi tersebut. Tapi bagi saya, lirik ini justru membuat saya mencari tahu tentang sejarah yang terjadi di Auschwitz, Perang Dunia II, dan segala hal yang terkait dengannya.

Dibandingkan dengan pelajaran sejarah di sekolah, Slayer lebih menarik menjadi guru sejarah bagi saya. Tidak berbeda dengan tema lirik lain seperti “Piece By Piece”, “Necrophobic”, “Criminally Insane”. Tentang sociopath/psikopat atau juga orang-orang dengan kecenderungan sakit jiwa, yang membuat saya tertarik dengan cerita, latar belakang mereka, entah orang-orang dengan kecenderungan di luar norma atau juga para serial killers. Slayer membuat saya membaca lebih serius dan lebih banyak.

Simak pula lirik-lirik anti-religi yang ekstrim seperti pada lagu “Jesus Saves”. Semasa sekolah menengah, kadang membuat saya mendengarkannya dengan jantung berdegup. Membutuhkan beberapa tahun untuk mengerti akan kemarahan mereka terhadap agama pada umumnya, tapi juga membuat pikiran saya lebih terbuka dengan berbagai macam pandangan, khususnya tentang agama.

Reign In Blood menjadi salah satu soundtrack bagi hidup saya. If anything goes wrong, saya tinggal memasang album ini dan merasa lebih baik. Mungkin memang tidak menjadi jawaban untuk suatu permasalahan yang ada, tapi dengan album ini setelah mendengarkannya, saya bisa berpikir lebih jernih. Seperti melepaskan agresi dengan positif, kemudian mampu berpikir jernih untuk menyelesaikan permasalahan itu.

Slayer dan Kegilaan Saya

Segi negatifnya, kalau ada, mungkin adalah lelucon yang saya gunakan semasa sekolah menengah pertama: menyiapkan stereo set dekat telepon, membuka buku telepon dan mencari nama-nama orang yang kami anggap bodoh. Saya menyiapkan lagu “Angel Of Death”, dan ketika orang di ujung sana mengangkat telepon, lagu “Angel Of Death” meledak.

Atau, secara acak saya memilih nomor telepon rumah seorang teman, begitu diangkat kami akan menjerit melengking seperti apa yang dilakukan Tom Araya. Biasanya, saya dan beberapa kawan selalu terpingkal-pingkal setelahnya.

Tentu saja, mendengarkan Reign In Blood sebelum pergi ke konser rock atau heavy metal manapun juga adalah wajib. Lebih seru lagi kalau di dalam mobil, berbekal bir dingin, dan juga dipasang dalam volume keras. Heavy metal parking lot dengan soundtrack Slayer adalah terbaik. It gets you pumped up.

Bahkan dalam kehidupan personal, album ini menjadi patokan saya. Gadis pujaan saya tidak harus menyukai Slayer, tapi paling tidak ia harus bisa mengapresiasi musik intens yang ditawarkan dalam Reign In Blood.

Dalam bermain musik pun, ketika menciptakan lagu, album ini menjadi sumber inspirasi. Misalnya dalam sebuah aransemen lagu, kami akan berdiskusi,

”Kita membutuhkan part seperti Slayer disini atau disini.”
“Sepakat. intro lagu kita perlu drum yang signifikan tapi tidak terlalu rumit disini, seperti Lombardo mendapat signature style di “Raining Blood”.”
“Bagaimana kalau sesudah reff, masuk ketukan uga-uga-nya Lombardo?”
“Lo bisa memasukkan solo gitar chaotic dan singkat disini? Sejenis Jeff Hanneman? Trrrr trrrrr svviiiiiirrt trrrrr?”
“Yeah.”

Kadang hanya kami sendiri yang mengerti bahasa tersebut. Tanpa menyebutkan part spesifik, tapi kami langsung mengerti. Tentu saja, prosesnya bukan copy paste riff atau part lagu Slayer, tapi yang dikejar biasanya adalah intensitas yang sama. Sensasi yang akhirnya didapatkan setelah mendengarkan lagu, sama seperti sensasi yang didapatkan setelah mendengarkan lagu-lagu dalam album ini.

Setelah 20 tahun mendengarkan Reign In Blood, akhirnya pada tahun 2007 terdengar kabar kalau Slayer akan konser di Max Pavillion, Singapura. Empat bulan sebelumnya saya dan beberapa rekan sudah bersama-sama berjanji akan berangkat bersama menyaksikan mereka. Kami bercanda, ini adalah perjalanan ‘naik haji metal’ kami. They’re gods, and we’re the loyal followers.

Tentu saja biayanya tidak murah, jadi saya melelang beberapa barang-barang saya demi menyaksikan Slayer. Seperti garage sale, saya melepas beberapa CD dan t-shirt dan memorabilia musik saya. Saya juga lebih giat mencari side job demi menambah dana.

Hari yang ditunggu tiba, and we’re all pumped up and excited. Kata yang dapat menggambarkan ekspresi kami mungkin hanya, “Yeaarrrgghh!!!”. Slayer akhirnya muncul dan Max Pavillion berantakan sudah. Semua fans heavy metal tahu kalau crowd Slayer adalah yang terbrutal, memar biru atau luka berdarah adalah sebuah lencana kebanggaan.

Ditutup dengan lagu-lagu dari album Reign In Blood, lengkaplah hidup saya. Salah satu konser terpenting selama hidup saya. Bahkan sepulang konsernya, kami tidak bisa tidur. Masih tidak percaya kalau kami pada akhirnya bisa menyaksikan Slayer. Penantian 20 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Pasca konser Slayer, kami senang bercanda dan ‘menyombongkan’ kepada rekan-rekan metalheads yang tidak menjadikan konser Slayer sebuah prioritas, tidak menyaksikannya, dan akhirnya menyesal sendiri, “We saw fucking Slayer, man. Where were you? You called yourselves metalheads?”. Haha.

Slayer adalah band heavy metal yang membuktikan dan menginspirasikan saya untuk tetap menjadi diri sendiri, apapun yang terjadi. Di saat band-band metal lainnya mencoba berkompromi atau melemah, Slayer selalu tetap konsisten pada jalurnya. Menginspirasi banyak sub genre heavy metal sesudahnya, lirik yang ekstrim, puitis dan gelap, dan menyalurkan kemarahan dan agresi secara positif. Reign In Blood hingga hari ini menjadi album heavy metal yang signifikan dan tidak termakan usia, dari sound dan tentu saja intensitasnya. Saya masih menyimpan baik versi kaset, CD, dan juga vinyl, yang diputar secara berkala. Sebuah masterpiece yang membuatmu selalu muda.

Fucking Slayer!

Oleh Arian13

Simon Bisley


Simon Bisley adalah seorang comic book artist yang sangat dikenal lewat karyanya untuk Slaine, Lobo, Judge Dreed, dan Batman. ia diakui sebagai salah satu seniman komik paling berbakat di tahun 90an.
banyak orang mengira bahwa Simon Bisley hanya menggunakan airbrush, tapi ia adalah orang pertama yang memakai cat aerosol untuk dasar pada tiap lukisannya. selain menjadi comic book artist, ia juga seorang drummer untuk band death metal Kaotika.

Katie Turner


Katie Turner, seorang Ilustrator asal Oklahoma dan sekarang tinggal dan berkerja di Brooklyn, New York. untuk mengasah skill menggambarnya ia belajar di Parsons. ia adalah penggemar film horror, buku komik, dan sangat menyukai melukis. HERE

Fiodor Sumkin



Karya dari Fiodor Sumkin hanya memakai pen, cat air, dan sedikit komentar untuk masalah sosial. meskipun tipografikal Fiodor Sumkin yang psikadelia terpengaruhi oleh seniman seperti Wes Wilson, Gothic, Art Nouveau gayanya tetap unik dan berbeda dengan yang lain.

Ibunya yang berkerja sebagai guru seni lukis di era Uni Soviet mempengaruhi Fiodor Sumkin lewat lukisan lukisan dan buku buku tentang seni lukis.

inspirasinya dalam berkarya berasal dari gambar dan foto dari era 1960-1970, foto foto kuno amerika, musik, film, buku buku tentang seni, design, fotografi aristektural, dan ia selalu membuka diri juga mempelajari alam dan sejarah

idola. idola yang sangat dia kagumi antara lain David Lynch, Bernardo Bertolucci, Victor Moscoso, George Dunning and Takashi Murakami.

ia selalu berkerja keras dan melakukan yang terbaik untuk karyanya dan dalam waktu bersamaan ia juga mengembangkan gaya ilustrasi dan tipografi yang baru. HERE

Tzarshame




Carson Ellis



Carson Ellis lahir di Vancouver, Canada dan dibesarkan di pemukiman New York. ia memperoleh BFA di University Of Montana di Missoula dalam bidang melukis.

dia adalah seorang bartender dan seorang pelukis cat minyak sebelum suaminya meperkerjakan dia sebagai senima untuk band "The Decemberists". proyek kecilnya berbuah besar. ia tak hanya mendesain album cover tapi juga flyer, poster, desain t-shirt, video, website, panggung, dan sekaligus 18 album cover untuk The Decemberists.

hal tersebut membuat karirnya melejit. sekarang, ia harus membagi waktu sebagai illustrator untuk buku anak anak, untuk The Decemberists, dan juga hobi melukisnya. HERE

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP