Music Guide: Tetap Intens Setelah 20 Tahun Lebih: Album Reign In Blood karya Slayer
Read More after the jump
Adalah tahun 2009, ketika saya kembali memutar album Reign In Blood dari band metal Slayer, feeling saya tetap sama seperti ketika saya pertama mendengarkan album ini di tahun 1987: seperti ditampar berkali-kali, seperti menjelaskan bagaimana seharusnya musik heavy metal yang intens dimainkan. Ya, ‘intens’ adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan Reign In Blood.
Pertengahan 1980an, saya masih mencoba belajar main skateboard di Bandung bersama teman-teman sekolah menengah pertama, dan juga baru mulai mendengarkan heavy metal. Sampul album musik heavy metal yang umumnya komikal amat menarik saya, seperti melihat sebuah poster film horor. Band-band seperti Iron Maiden, Judas Priest memicu ketertarikan saya kepada musik jenis ini. Dan sepertinya rasa haus ingin mendapatkan musik yang lebih ekstrim dan lebih ekstrim semakin membesar.
Era musik thrash metal ketika itu juga baru mulai, dan saya juga menikmati sub genre ini. Di masa itu, tidak mudah mendapatkan rilisan-rilisan thrash metal. Biasanya saya dan kawan-kawan fans heavy metal mendapatkan rekaman-rekaman kaset saja, kadang berupa demo, kadang berupa kopian dari album original dan impor milik seseorang yang beruntung mendapatkan dari liburan di luar negeri atau menitip kepada seorang saudara yang di luar sana. Metallica, Megadeth, Testament, Forbidden, Sacred Reich, dan banyak lagi.
Awal Mula
Bermula dari seorang teman yang memberikan sebuah rekaman kaset Reign In Blood karya Slayer ini. Sebelumnya, saya sudah mendengarkan album Slayer Show No Mercy dan Live Undead, saya kira musiknya cukup senada dengan band-band thrash metal lainnya. Tapi saat saya memutar kaset Reign In Blood, I was blown away from the first riffs. Berdurasi hanya 28 menit saja, cukup singkat untuk rata-rata durasi album heavy metal.
Saya punya tolok ukur unik: ketika memutar sebuah album heavy metal dalam volume maksimal, semakin cepat ibu saya menyuruh saya memelankan suara yang keluar dari speaker, artinya album heavy metal tersebut semakin baik. Begitu pula dengan Reign In Blood. Hanya beberapa detik setelah lagu pertama diputar, “Angel Of Death”, ibu saya berteriak agar volume dikecilkan. Good. Album rekaman ini saya putar berulang kali hingga kaset rekamannya mendem. Merekam ulang dari teman, dan memutarnya lagi hingga tidak dapat diputar.
Akhirnya saya mendapatkan kaset importnya setelah memesan dari seorang relasi. Artwork álbum ini adalah karya Larry Carroll, tidak komikal seperti album heavy metal lainnya. Album rilisan tahun 1985 ini memiliki artwork yang dark, dan tentu saja berkesan satanic: sosok seperti manusia berkepala kambing, yang sedang diusung sosok-sosok seperti manusia dengan simbolisasi, di lautan merah seperti darah. Sebuah lukisan sureal yang digarap serius dan jauh dari komikal. Seperti membuat pernyataan keras, “We are fucking dead serious.”. Wah. Sebuah artwork yang membuat bulu kuduk berdiri. Kalau memang takut sebenarnya tinggal dimatikan saja, tapi itu tidak saya lakukan. Tangan produser Rick Rubin (yang pernah memproduseri Beastie Boys, Red Hot Chili Peppers, Metallica, dan lain-lain) memang seperti Midas, apa yang disentuh menjadi emas. Dalam hal ini, sentuhan tangan produser Rick Rubin atas Reign In Blood memaksimalkan Slayer.
Musik dan Lirik yang Menerjang
Selain artwork, saya terhenyak pula dengan musiknya. Aransemen lagu yang seperti tidak mengenal istirahat, dan dilengkapi olah lengkingan-lengkingan solo gitar yang chaotic disebar di tiap lagu. Gitaris Kerry King dan Jeff Hanneman berbicara dengan instrumennya, sementara Dave Lombardo sang drummer menghajar tiap bagian instrumen drum seperti tidak ada hari esok. Tom Araya sang bassis dan vokalis, memuntahkan lirik bagai senapan mesin tanpa kehilangan artikulasi. Dan tentu saja lengkingan vokal yang membuka di ”Angel Of Death” adalah klasik dan gahar. Evil. Bahkan lagu terakhir, ”Raining Blood”, memiliki intro dengan drum signature yang menjadikannya klasik, padahal sangat sederhana.
Saya berani bilang, silahkan ambil beberapa album heavy metal 5 tahun ke belakang, bandingkan dengan Reign In Blood, tidak ada yang dapat menyamai intensitasnya.
Perlu juga bicara tentang liriknya yang pada masa itu terasa ekstrim: “Angel Of Death” bercerita tentang korban-korban kamp konsentrasi Auschwitz-Birkenau, Polandia, yang dibantai secara mengerikan oleh Dr. Josef Mengele, perwira dan psikiater Nazi. Lagu ini juga menuai protes karena seperti memuja kematian dan tragedi di kamp konsentrasi tersebut. Tapi bagi saya, lirik ini justru membuat saya mencari tahu tentang sejarah yang terjadi di Auschwitz, Perang Dunia II, dan segala hal yang terkait dengannya.
Dibandingkan dengan pelajaran sejarah di sekolah, Slayer lebih menarik menjadi guru sejarah bagi saya. Tidak berbeda dengan tema lirik lain seperti “Piece By Piece”, “Necrophobic”, “Criminally Insane”. Tentang sociopath/psikopat atau juga orang-orang dengan kecenderungan sakit jiwa, yang membuat saya tertarik dengan cerita, latar belakang mereka, entah orang-orang dengan kecenderungan di luar norma atau juga para serial killers. Slayer membuat saya membaca lebih serius dan lebih banyak.
Simak pula lirik-lirik anti-religi yang ekstrim seperti pada lagu “Jesus Saves”. Semasa sekolah menengah, kadang membuat saya mendengarkannya dengan jantung berdegup. Membutuhkan beberapa tahun untuk mengerti akan kemarahan mereka terhadap agama pada umumnya, tapi juga membuat pikiran saya lebih terbuka dengan berbagai macam pandangan, khususnya tentang agama.
Reign In Blood menjadi salah satu soundtrack bagi hidup saya. If anything goes wrong, saya tinggal memasang album ini dan merasa lebih baik. Mungkin memang tidak menjadi jawaban untuk suatu permasalahan yang ada, tapi dengan album ini setelah mendengarkannya, saya bisa berpikir lebih jernih. Seperti melepaskan agresi dengan positif, kemudian mampu berpikir jernih untuk menyelesaikan permasalahan itu.
Slayer dan Kegilaan Saya
Segi negatifnya, kalau ada, mungkin adalah lelucon yang saya gunakan semasa sekolah menengah pertama: menyiapkan stereo set dekat telepon, membuka buku telepon dan mencari nama-nama orang yang kami anggap bodoh. Saya menyiapkan lagu “Angel Of Death”, dan ketika orang di ujung sana mengangkat telepon, lagu “Angel Of Death” meledak.
Atau, secara acak saya memilih nomor telepon rumah seorang teman, begitu diangkat kami akan menjerit melengking seperti apa yang dilakukan Tom Araya. Biasanya, saya dan beberapa kawan selalu terpingkal-pingkal setelahnya.
Tentu saja, mendengarkan Reign In Blood sebelum pergi ke konser rock atau heavy metal manapun juga adalah wajib. Lebih seru lagi kalau di dalam mobil, berbekal bir dingin, dan juga dipasang dalam volume keras. Heavy metal parking lot dengan soundtrack Slayer adalah terbaik. It gets you pumped up.
Bahkan dalam kehidupan personal, album ini menjadi patokan saya. Gadis pujaan saya tidak harus menyukai Slayer, tapi paling tidak ia harus bisa mengapresiasi musik intens yang ditawarkan dalam Reign In Blood.
Dalam bermain musik pun, ketika menciptakan lagu, album ini menjadi sumber inspirasi. Misalnya dalam sebuah aransemen lagu, kami akan berdiskusi,
”Kita membutuhkan part seperti Slayer disini atau disini.”
“Sepakat. intro lagu kita perlu drum yang signifikan tapi tidak terlalu rumit disini, seperti Lombardo mendapat signature style di “Raining Blood”.”
“Bagaimana kalau sesudah reff, masuk ketukan uga-uga-nya Lombardo?”
“Lo bisa memasukkan solo gitar chaotic dan singkat disini? Sejenis Jeff Hanneman? Trrrr trrrrr svviiiiiirrt trrrrr?”
“Yeah.”
Kadang hanya kami sendiri yang mengerti bahasa tersebut. Tanpa menyebutkan part spesifik, tapi kami langsung mengerti. Tentu saja, prosesnya bukan copy paste riff atau part lagu Slayer, tapi yang dikejar biasanya adalah intensitas yang sama. Sensasi yang akhirnya didapatkan setelah mendengarkan lagu, sama seperti sensasi yang didapatkan setelah mendengarkan lagu-lagu dalam album ini.
Setelah 20 tahun mendengarkan Reign In Blood, akhirnya pada tahun 2007 terdengar kabar kalau Slayer akan konser di Max Pavillion, Singapura. Empat bulan sebelumnya saya dan beberapa rekan sudah bersama-sama berjanji akan berangkat bersama menyaksikan mereka. Kami bercanda, ini adalah perjalanan ‘naik haji metal’ kami. They’re gods, and we’re the loyal followers.
Tentu saja biayanya tidak murah, jadi saya melelang beberapa barang-barang saya demi menyaksikan Slayer. Seperti garage sale, saya melepas beberapa CD dan t-shirt dan memorabilia musik saya. Saya juga lebih giat mencari side job demi menambah dana.
Hari yang ditunggu tiba, and we’re all pumped up and excited. Kata yang dapat menggambarkan ekspresi kami mungkin hanya, “Yeaarrrgghh!!!”. Slayer akhirnya muncul dan Max Pavillion berantakan sudah. Semua fans heavy metal tahu kalau crowd Slayer adalah yang terbrutal, memar biru atau luka berdarah adalah sebuah lencana kebanggaan.
Ditutup dengan lagu-lagu dari album Reign In Blood, lengkaplah hidup saya. Salah satu konser terpenting selama hidup saya. Bahkan sepulang konsernya, kami tidak bisa tidur. Masih tidak percaya kalau kami pada akhirnya bisa menyaksikan Slayer. Penantian 20 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Pasca konser Slayer, kami senang bercanda dan ‘menyombongkan’ kepada rekan-rekan metalheads yang tidak menjadikan konser Slayer sebuah prioritas, tidak menyaksikannya, dan akhirnya menyesal sendiri, “We saw fucking Slayer, man. Where were you? You called yourselves metalheads?”. Haha.
Slayer adalah band heavy metal yang membuktikan dan menginspirasikan saya untuk tetap menjadi diri sendiri, apapun yang terjadi. Di saat band-band metal lainnya mencoba berkompromi atau melemah, Slayer selalu tetap konsisten pada jalurnya. Menginspirasi banyak sub genre heavy metal sesudahnya, lirik yang ekstrim, puitis dan gelap, dan menyalurkan kemarahan dan agresi secara positif. Reign In Blood hingga hari ini menjadi album heavy metal yang signifikan dan tidak termakan usia, dari sound dan tentu saja intensitasnya. Saya masih menyimpan baik versi kaset, CD, dan juga vinyl, yang diputar secara berkala. Sebuah masterpiece yang membuatmu selalu muda.
Fucking Slayer!
Oleh Arian13
0 komentar:
Post a Comment