Special: Jurnalisme Musik Indonesia Butuh Tamparan


Full Story After The Jump


Reporter itu tak sadar bahwa ia meneguk air dari gelas saya. Saya biarkan, sebab tak ingin mempermalukannya. Ia mengeluarkan selembar kertas dan memulai sesi wawancara dengan pertanyaan pertama. “Oke, kenapa pilih nama Tika?” tanyanya. “Apakah ini pertanyaan trik?” pikir saya.



Sebab Tika adalah nama pemberian orang tua. Tentu saja nama bisa dialterasi untuk kesan lebih catchy, misalnya dengan pengejaan aneh seperti ‘Teeka’ atau ‘Tiqa’. Banyak yang sudah melakukannya. Tapi bukan itu tampaknya arah pertanyaan sang reporter dari majalah remaja kenamaan tersebut.



Akhirnya saya balik bertanya,“Maksudnya apa, mbak?” Ia menepuk dahinya dan meminta maaf. “Aduh! Maaf, Mbak Tika. Di daftar pertanyaan saya, itu sudah template pertanyaan untuk band,” akunya (terlalu) jujur. Ia memperlihatkan lembaran pertanyaan isu standar dari majalah tersebut yang tampak sudah kusut karena sering dipakai.



’Mengapa pilih nama band __’. ’Ingin- berkolaborasi dengan siapa saja?’. ’Apa harapannya untuk album ini?’. Pertanyaan yang terakhir biasa dijawab para musisi dengan jawaban klise, “Semoga bisa diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia.”



Ironis memikirkan betapa banyak musisi yang mampir ke kantor itu dengan maksud memperkenalkan karya, karakter, dan citra mereka kepada masyarakat luas. Tapi dengan daftar pertanyaan yang distandarisasi, musisi paling unik sekalipun akan terdengar standar, tentunya. Begitu pula dengan hasil penulisan artikelnya. Standar-standar saja. Tidak cukup rupanya, industri musik Indonesia bermain aman dengan pilihan repertoirenya dan musisi bermain aman dalam membuat karya. Media pun ikut bermain aman dalam menyampaikan informasi kepada publik. Main aman biasanya bergandeng erat dengan malas. Entah mana yang lebih dominan dalam hal ini.



Negara ini punya begitu banyak talenta musik, dan begitu sedikit media informasi musik. Bakat-bakat hebat di luar sana kekurangan akses dan referensi. Penyeragam-an yang ada dalam industri musik tak bisa disalahkan seratus persen kepada industrinya. Media pun semestinya memberi sudut pandang yang membuka pikiran. Sayangnya, sudah rahasia umum bagaimana kebanyakan media–cetak khususnya–lebih suka mengcopy paste siaran pers keluaran label atau manajemen artis dibanding meriset dan menambahkan twist yang membumbui artikelnya.


Bisa dimengerti, dengan tekanan deadline dan menumpuknya pekerjaan, metode ini praktis dan hemat waktu. Manajemen artis pun bahagia, sebab poin jualan mereka sudah dengan sengaja dipaketkan dalam siaran pers tersebut. Semua diuntungkan. Semua kecuali masyarakat yang mengkonsumsi informasinya. Pada akhirnya tak banyak yang bisa mereka pelajari dan jadikan inspirasi apabila semua majalah yang mereka beli menuliskan hal yang sama, dari sudut pandang yang sama, dengan susunan kalimat yang sama tentang band favorit mereka. Membaca majalah jadi tak menarik lagi. You’ve read one, you’ve read them all.


Rosihan Anwar dalam bukunya Sejarah Kecil Indonesia (Jilid 2) menuliskan bahwa di tahun 1977, “mayoritas wartawan memilih profesinya atas dasar dorongan cita-cita dan faktor idealisme”. Menjadi insan pers di masa itu adalah hal yang membanggakan. Namun dunia telah berubah jauh sejak tahun 1977. Kebanyakan wartawan hari ini tidak memilih profesinya, melainkan terdampar di profesi tersebut. Menjalankan tugas tanpa passion, wajar tentu apabila hasil karyanya pun tak bernyawa.



Untunglah ada banyak fenomena kecil di generasi ini yang sedikit banyak menyelamatkan jurnalisme musik dari ketumpulan mutlak. Masuknya budaya zine ke Indonesia, contohnya. Tak bisa dipungkiri bahwa wawancara-wawancara paling menarik yang pernah saya lakukan adalah justru dengan zine-zine lokal. Dengan berapi-api, mereka berlomba menyajikan pertanyaan yang belum pernah ditanyakan media lain. Meski secara sirkulasi tergolong kecil, namun patut diberi kredit yang setara.



Namun ada lagi fenomena kecil, yang entah disadari atau tidak, memberi transfusi darah segar dalam jurnalisme musik Indonesia saat beberapa tahun belakangan ini ketika semakin banyak anak-anak band yang nyambi bekerja jadi wartawan (atau sebaliknya). Membawa passion mereka akan musik ke tempat kerja. Membagi segala informasi yang mereka rasa patut diketahui masyarakat tentang yang baru, apa yang menarik, dari musik-musik yang mereka sukai.



Ketika majalah remaja putri membahas tentang musik hip hop, dan si penulis membahas Kanye West, band bubblegum hip hop Korea, hingga Homicide, bagi saya ini sangat berarti. Ketika tabloid perempuan mengulas album Tori Amos, dan majalah khusus lelaki membuat featuretentang roadies dan kru panggung, bagi saya ini mendobrak batas.



Seperti semua hal di negeri ini, dunia musik Indonesia, termasuk di dalamnya jurnalisme musik, adalah paradoks yang kontradiktif. Lesu dan stagnan di satu sisi, tapi semarak dengan agen-agen kecil yang mencoba menyelipkan perubahan kecil yang berarti di sisi lain. Itulah yang membuat musik Indonesia begitu seksi. Kepada semua insan pers di luar sana yang bekerja dengan passiondan mencintai profesi kalian, peluk hangat dari saya untuk kalian semua. Keep loving, keep fighting.



Oleh : Kartika Jahja, vokalis Tika & The Dissidents


from: Rolling Stone Indonesia

0 komentar:

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP